Romantisme Etalase Metropolis

Sewaktu SMP, saya pernah bercita-cita untuk berkantor di daerah sudirman. Duduk di depan komputer yang berdindingkan kaca. Alasannya sangat sederhana, Sudirman adalah jalan protokol Jakarta yang dipadati kantor-kantor bagus.

Sudirman memiliki banyak gedung tinggi dengan design yang bermacam-macam. Kalau siang hari, terasa tegang melintasi daerah ini. Bukan hanya karena macet tapi juga gedung-gedung itu seperti menjejali mata tanpa permisi.

Sekarang, saya berkantor tidak jauh dari jalan protokol itu. Sedikit mendekati cita-cita. Saya duduk tepat di samping kaca yang bisa tembus ke arah kuningan, proklamasi dan sedikit sarinah. Dari lantai 14, saya memandangi gedung-gedung itu setiap kali butuh penyegaran setelah berjam-jam memandangi laptop.

Kalau pagi atau siang hari, pemandangannya kaku. Karena tembok tinggi yang angkuh itu seperti tidak bernyawa. Seperti lego yang disusun menjulang tanpa makna. Tapi kalau di malam hari, indah sekali. Arsitekturnya menjadi hidup karena lampu dari dalam kaca menawarkan kehidupan lain. Ditambah ketika lampu-lampu dari mobil yang merayap di jalan seolah-olah menghiasi bagian bawah gedung.

Saya bukannya senang dengan kemacetan tapi beberapa hari lalu saya jatuh cinta dengan gedung-gedung itu. Saat kendaraan yang saya tumpangi tidak jalan-jalan, saya coba menerka apa yang tengah dilakukan pekerja di dalam sana. Dan ketika kita menongakkan kepala untuk menangkap

Foto diambil dari Forum Skylines and Night pictures

Foto diambil dari Forum Skylines and Night pictures

keseluruhan bentuk gedung-gedung bertingkat itu, rasa seperti jatuh cinta pada keangkuhan. Saya membatin, ah buat apa jatuh cinta pada keangkuhan.

Tapi setiap gedung menampilkan auranya sendiri. Alhasil saya semakin larut mengamati gedung-gedung itu, seolah setiap kotak kaca yang menempel menggoda kita untuk memuji. Wah gedungnya bagus, warnanya menarik, atau bentuk helipad di puncak gedungnya sangat unit, itu adalah ekspresi yang terlontar di dalam kepala saya.

Hampir setiap malam, saya melamati gedung-gedung itu dan hampir setiap malam juga saya seperti menemukan hal baru dari gedung-gedung angkuh. Ya angkuh, karena inilah etalase metropolis ibukota. Menjulang, berjarak, dan menyilaukan mata. Tiba-tiba saya teringat cerita tentang menara Babel yang tidak berhasil dibangun karena konon Tuhan bilang, itu adalah proyek kesombongan manusia. Mungkin ini yang membuat saya mempersonifikasikan tembok-tembok beton berkaca itu sebagai etalase metropolis.

Yah saat ini, mata saya tengah terbuai dengan etalase ini. Selalu mencari-cari, gedung mana yang mau bercerita tentang kesombongannya. Sampai-sampai, ketika saya masuk kawasan yang tidak ada gedung bertingkatnya, saya membatin dalam hati, ah ngga seru…datar semuanya.

Apa ya kira-kira pendapat Tuhan melihat bagaimana setiap kota-kota besar berlomba-lomba punya gedung bertingkat? Apa Tuhan masih melihatnya sebagai neobabelinisasi (istilah maksa yang keluar tiba-tiba dalam kepala).

Atau sebenarnya saat menara babel dihancurkan, Tuhan lupa menghapus memori umatnya ketika itu. Sehingga cerita tentang tembok tinggi menjulang tetap diturunkan dari generasi ke generasi. Dan oleh insinyur arsitektur diartikan sebagai teknik membangun gedung bertingkat.Jangan-jangan menara babel tidak pernah ada. Tuhan membuat cerita itu untuk memancing orang membuat gedung bertingkat?

Yah apapun bentuknya, saya tengah jatuh cinta dengan tembok angkuh ini. Gedung bertingkat dengan rasa etalase metropolis.